Contoh Kasus
Manajemen Krisis Yang Disebabkan Bencana Alam Pada PT. Telekomunikasi
Indonesia, Tbk
Indonesia rentan
terhadap bencana alam dan peristiwa-peristiwa di luar kendali kami, yang
berpengaruh negatif pada bisnis dan hasil usaha kami
Banyak daerah di
Indonesia, termasuk daerah di mana kami beroperasi, rentan terhadap bencana
alam seperti banjir, petir, angin ribut, gempa bumi, tsunami, letusan gunung
berapi, kebakaran dan juga kekeringan, pemadaman listrik dan peristiwa lainnya
yang berada di luar kendali kami. Kepulauan Indonesia adalah salah satu daerah
vulkanik paling aktif di dunia karena berada di zona konvergensi dari tiga
lempeng litosfer utama, sehingga mengalami aktivitas seismik yang dapat
menyebabkan gempa bumi, tsunami atau gelombang pasang yang merusak. Dari waktu
ke waktu, bencana alam telah menelan korban jiwa, merugikan atau membuat
sejumlah besar masyarakat mengungsi dan merusak peralatan kami.
Peristiwa-peristiwa seperti ini telah terjadi di masa lalu, dan dapat terjadi
lagi di masa depan, mengganggu kegiatan usaha kami, menyebabkan kerusakan pada
peralatan dan memberikan pengaruh buruk terhadap kinerja finansial dan
keuntungan kami.
Dalam beberapa
tahun terakhir, beberapa bencana alam telah terjadi di Indonesia (selain tsunami
di Asia pada tahun 2004), termasuk tsunami di Pangandaran, Jawa Barat pada
tahun 2006, gempa bumi di Yogyakarta, Jawa Tengah pada tahun 2006, erupsi yang
kemudian berkembang menjadi banjir lumpur panas di Sidoarjo Jawa Timur di tahun
2006, serta gempa bumi di Papua, Jawa Barat, Sulawesi dan Sumatera pada waktu
yang berbeda di tahun 2009.
Gempa bumi yang
melanda sebagian wilayah Jawa Barat pada tanggal 2 September 2009 menyebabkan
kerusakan pada aset Perusahaan. Pada tanggal 30 September 2009 terjadi gempa di
Sumatera Barat, yang mengganggu penyediaan layanan telekomunikasi di beberapa
lokasi. Walaupun Tim Manajemen Krisis kami bekerjasama dengan karyawan dan
mitra kami berhasil memulihkan layanan dengan cepat, gempa tersebut menyebabkan
kerusakan parah terhadap aset kami. Ada sejumlah gempa bumi terdeteksi pada
tahun 2010 hingga 2013, walau tidak satupun yang memberikan risiko signifikan
terhadap bisnis kami pada umumnya.
Banjir bandang
dan banjir yang lebih meluas terjadi secara rutin selama musim hujan dari bulan
November sampai bulan April. Kota-kota besar khususnya Jakarta, sering
mengalami banjir parah yang mengakibatkan gangguan besar, dan kadang-kadang
menimbulkan korban jiwa. Jakarta mengalami banjir yang signifikan pada bulan
Februari 2007 dan Solo di Jawa Tengah pada bulan Januari. Pada bulan Januari
2009 terjadi hujan deras yang menyebabkan runtuhnya sebuah bendungan diluar
Jakarta, membanjiri ratusan rumah di daerah padat penduduk dan menyebabkan
kematian sekitar 100 orang. Longsor terjadi secara rutin di daerah pedesaan
selama musim hujan.
Ada banyak gunung
berapi di Indonesia yang dapat meletus tanpa peringatan. Pada bulan Oktober dan
November 2010, Gunung Merapi di Jawa Tengah meletus beberapa kali, menelan
korban jiwa sekitar 140 orang, beberapa ratus ribu orang lainnya pada radius 20
km terpaksa mengungsi, menyebabkan kerusakan properti senilai miliaran Dolar
dan mengganggu perjalanan udara. Sejak bulan April 2008, Gunung Soputan di
Sulawesi Utara, Gunung Egon di Pulau Flores, Nusa Tenggara, Gunung Ibu di
Maluku Utara dan Anak Krakatau di Selat Sunda telah menunjukkan peningkatan
aktivitas vulkanik. Gunung Sinabung 60 km barat daya dari Medan, kota terbesar
Sumatera Utara, meletus pada tanggal 29 Agustus 2013 setelah tidak beraktivitas
selama 400 tahun, dan kembali meletus bulan November 2013. Abu dan asap
belerang dari gunung berapi telah menyelimuti pedesaan dan tanaman.
Pada tahun 2010,
kabel bawah laut yang merupakan bagian dari backbone kami mengalami kerusakan
akibat dari tsunami di Sumatera Barat dan gempa di Sumbawa. Atas kerusakan
tersebut, sudah dilakukan perbaikan.
Meskipun kami
telah menerapkan Rencana Kelanjutan Usaha (Business Continuity Plan/“BCP”) dan
Rencana Pemulihan Bencana (Disaster Recovery Plan/“DRP”) yang diuji coba secara
berkala, serta telah mengasuransikan aset kami untuk melindungi dari kerugian
akibat bencana alam atau fenomena lainnya yang terjadi di luar kendali kami,
tidak ada jaminan bahwa perlindungan asuransi akan cukup untuk menutupi potensi
kerugian, atau bahwa premi yang dibayarkan untuk polis asuransi tersebut ketika
diperbarui tidak akan naik secara substansial di masa depan, maupun bahwa
bencana alam tidak akan mengganggu operasional kami secara signifikan.
Kami tidak dapat
memberi jaminan bahwa peristiwa geologis atau meteorologis di masa depan tidak
akan berdampak lebih besar pada perekonomian Indonesia. Gempa bumi besar,
gangguan geologis atau bencana lain akibat gangguan cuaca di kota yang padat
penduduk manapun dan pusat-pusat keuangan di Indonesia dapat sangat mengganggu
ekonomi Indonesia dan menurunkan kepercayaan investor, sehingga berpengaruh
pada bisnis, kondisi keuangan, hasil operasi dan prospek usaha kami.
Analisa
Pembelajaran
Peran Perusahaan dalam Penanggulangan Bencana di Indonesia.
Dalam konteks
Indonesia, ada banyak pembelajaran yang bisa diambil oleh para pemangku
kepentingan, khususnya perusahaan, berkenaan dengan upaya penanggulangan
bencana yang telah dilakukan sejauh ini. Apabila dikaitkan dengan siklus
manajemen bencana, maka sebagian besar perusahaan di Indonesia masihlah
berkutat pada upaya tanggap darurat, dan masih sangat sedikit yang masuk dalam
ranah pencegahan dan mitigasi, pengurangan risiko bencana, maupun pengembalian
penghidupan masyarakat pasca bencana. Sehingga wajar jika di saat tidak ada
bencana, jarang kita mendengar kiprah perusahaan dalam bidang kebencanaan.
Hal yang kontras
apabila dibandingkan dengan kondisi saat terjadi bencana, di mana puluhan atau
bahkan ratusan perusahaan tiba-tiba menjadi sangat peduli dengan memberikan bantuan
kepada korban bencana. Walaupun kadang bantuan tersebut diberikan dengan cara
atau strategi yang tidak sesuai dengan bagaimana seharusnya bantuan untuk
tanggap darurat diberikan. Sering pula jenis bantuan yang diberikan tidak
menjawab kebutuhan masyarakat yang menjadi korban bencana. Alhasil, bantuan
yang diberikan seringkali tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh korban
bencana.
Kontribusi
perusahaan di Indonesia dalam masalah kebencanaan memang sangat tergantung pada
seberapa besar tingkat kesadaran, khususnya manajemen puncak, pemilik atau
pemegang saham perusahaan tersebut. Semakin tinggi tingkat kesadarannya tentu
harapan untuk memberikan komitmen yang semakin besar terhadap upaya
penanggulangan bencana dapat diwujudkan dengan mudah. Sebaliknya, jika tingkat
kesadaran dari manajemen, pemilik maupun pemegang saham perusahaan masih
rendah, akan sulit untuk memintakan komitmen yang lebih dalam upaya
penanggulangan bencana. Padahal dengan tingkat komitmen yang tinggi, diharapkan
kontribusi nyata yang diberikan perusahaan pun akan semakin tinggi. Baik
kontribusi tersebut berupa kontribusi finansial (cash donation), bantuan berupa
barang dan atau jasa (in-kind contribution), bantuan berupa keahlian tertentu
secara cuma-cuma (pro bono), maupun bantuan-bantuan dalam wujud yang lainnya.
Apabila kita
kelompokkan berdasarkan tingkat kesadaran, komitmen dan kontribusi yang
diberikan perusahaan dalam penanggulangan bencana, maka penulis bersepakat
untuk menyatakan adanya tiga tingkatan, yaitu: 1) Kelompok perusahaan
konvensional; 2) Kelompok perusahaan progresif; dan 3) Kelompok perusahaan
terdepan (advance). Berdasarkan pengalaman, pengamatan dan pemahaman penulis
mengenai kebencanaan, maka penulis berupaya untuk mendeskripsikan ciri-ciri
umum dari masing-masing kelompok tersebut sebagai berikut.
Pertama adalah
kelompok perusahaan konvesional, di mana kelompok ini salah satunya dicirikan
dengan tingkat kesadaran yang relatif rendah mengenai penanggulangan bencana.
Kelompok ini biasanya baru akan mengerahkan sumberdayanya, jika bencana
berpotensi menimbulkan kerugian dan berdampak langsung pada aset-aset
perusahaan atau manakala perusahaan berkepentingan untuk menciptakan citra
positif di mata pemangku kepentingan dan media. Dengan tingkat kesadaran yang
rendah dan komitmen manajemen yang rendah, maka kelompok perusahaan seperti ini
biasanya memberikan kontribusi dalam jumlah yang relatif kecil.
Dalam banyak
kasus bencana, paket bantuan yang menjadi favorit bagi perusahaan seperti ini
adalah bahan makanan pokok seperti mie instan, air minum, makanan kaleng, dan
sejenisnya. Kelompok ini pun biasanya datang ke lokasi bencana “hanya” untuk
menyerahkan bantuan kepada perwakilan masyarakat setempat, tanpa berupaya
memahami kebutuhan korban dengan baik. Kelompok perusahaan seperti ini belum
berpikir mengenai tindakan atau program yang hendaknya dilakukan sebelum
bencana terjadi atau penanganan dan pemulihan kehidupan korban pasca-bencana.
Sehingga secara umum ciri kelompok ini adalah reaktif terhadap bencana.
Kelompok kedua
adalah kelompok perusahaan progresif. Salah satu ciri kelompok ini adalah
tingkat kesadaran mengenai kebencanaan yang lebih baik, yang biasanya ditandai
dengan upaya untuk mengintegrasikan risiko bencana ke dalam manajemen risiko
bisnisnya. Sehingga bagi kelompok ini, walaupun tidak ada bencana, mereka telah
melakukan upaya untuk mengantisipasi atau memitigasi risiko bencana dengan
misalnya membuat rencana kontingensi, melakukan penilaian risiko dan kerentanan
di seluruh lokasi operasional atau unit bisnis, melakukan pelatihan internal dan
simulasi mengenai kegawatdaruratan serta membuat sistem manajemen tanggap
darurat.
Selain itu, jika
perusahaan ini hendak memberikan kontribusi kepada korban bencana, maka
didahului dengan proses penilaian kebutuhan secara cepat (rapid assessment).
Paket bantuan yang diberikan pun biasanya beragam mulai dari pengiriman tim
kesehatan, tim penolong (rescue team), pengiriman logistik (bahan makanan,
perlengkapan toiletries atau bahan bangunan), penyediaan shelter sementara,
pemulihan trauma pasca-bencana (fisik, mental, psikologi atau spiritual) sampai
partisipasi dalam pemulihan kehidupan masyarakat pasca-bencana, baik melalui
perbaikan sarana infrastruktur, pemulihan akses ekonomi, dan pengembalian
penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood program) bagi masyarakat.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kelompok ini adalah kelompok yang adaptif
terhadap bencana.
Terakhir adalah
kelompok perusahaan terdepan. Perusahaan-perusahaan yang berada di kelompok ini
tidak hanya bertindak ketika bencana terjadi, namun tindakannya merentang dari
pencegahan dan mitigasi, pengurangan risiko, penanganan bencana dan pemulihan
kehidupan pasca-bencana. Kelompok ini selain berupaya mengintegrasikan risiko
bencana dalam risiko bisnisnya, juga berupaya untuk menumbuhkan kesadaran
mengenai pentingnya mengantisipasi kejadian bencana kepada pemangku
kepentingan, khususnya komunitas di sekitar wilayah operasinya. Perusahaan di
kelompok ini menyadari bahwa perusahaan juga mempunyai peran yang strategis
untuk meminimalkan dampak negatif bencana dengan melaksanakan berbagai program
pencegahan, mitigasi, pelatihan dan simulasi kesiapsiagaan serta pengurangan
risiko bencana berbasis masyarakat. Oleh karena itu, perusahaan dalam kelompok
ini tidak hanya “sibuk” ketika terjadi bencana, tapi juga mempunyai program
yang terstruktur untuk mengantisipasi terjadinya bencana.
Sumber referensi
http://nikenwp.blogspot.co.id/2015_11_01_archive.html