Perkembangan Etika Bisnis di Indonesia.
Etika bisnis
dapat dikatakan baru berkembang dalam satu dua dasawarsa terakhir ini. Jika
dibandingkan dengan etika khusus lainnya sebagai cabang etika terapan, seperti
etika politik, dan kedokteran, etika bisnis dirasakan masih sangat baru. Dengan
semakin gencarnya pembicaraan mengenai etika bisnis di masyarakat bersama
dengan hidupnya kegiatan bisnis di negera kita, mulai disadari bahwa etika
bisnis perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar, khususnya dalam kerangka
perilaku bisnis di Indonesia.
Disadari bahwa
tuntutan dunia bisnis dan manajemen dewasa ini semakin tinggi dan keras yang
mensyaratkan sikap dan pola kerja yang semakin profesional. Persaingan yang makin
ketat juga juga mengharuskan pebisnis dan manajer untuk sungguh-sungguh menjadi
profesional jika mereka ingin meraih sukses. Namunyang masih sangat
memprihatinkan di Indonesia adalah bahwa profesi bisnis belum dianggap sebagai
profesi yang luhur. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat yang
menganggap bahwa bisnis adalah usaha yang kotor. Itulah sebabnya bisnis selalu
mendapatkan konotasi jelek, sebagai kerjanya orang-orang kotor yang disimbolkan
lintah darat yaitu orang yang mengeruk keuntungan secara tidak halal menghisap
darah orang lain. Kesan dan sikap masyarakat seperti ini sebenarnya disebabkan
oleh orang-orang bisnis itu sendiri yang memperlihatkan citra negatif tentang
bisnis di masyarakat. Banyak pebisnis yang menawarkan barang tidak bermutu
dengan harga tinggi, mengakibatkan citra bisnis menjadi jelek. Selain itu juga
banyak pebisnis yang melakukan kolusi dan nepotisme dalam memenangkan lelang,
penyuapan kepada para pejabat, pengurangan mutu untuk medapatkan laba maksimal,
yang semuanya itu merupakan bisnis a-moral dan tidak etis dan
menjatuhkan citra bisnis di Indonesia.
Rusaknya citra
bisnis di Indonesia tersebut juga diakibatkan adanya pandangan tentang bisnis
di masyarakat kita, yaitu pandangan praktis-realistis dan bukan pandangan ideal.
Pandangan praktis-realistis adalah pandangan yang bertumpu pada kenyataan yang
berlaku umum dewasa ini. Pandangan ini melihat bisnis sebagai suatu kegiatan di
antara manusia untuk memproduksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk
memperoleh keuntungan. Pada pandangan ini ditegaskan secara jelas bahwa tujuan
dari bisnis adalah mencari laba. Bisnis adalah kegiatan profit making,
bahkan laba dianggap sebagai satu-satunya tujuan pokok bisnis. Dasar pemikiran
mereka adalah keuntungan itu sah untuk menunjang kegiatan bisnis itu. Tanpa
keuntungan bisnis tidak mungkin berjalan. Friedman dalam De George (1986)
menyatakan bahwa dalam kenyataan keuntunganlah yang menjadi satu-satunya
motivasi dasar orang berbisnis. Karena orang berbisnis inginmencari keuntungan,
maka orang yang tidak mau mencari keuntungan bukan tempatnya di bidang bisnis.
Inilah suatu kenyataan yang tidak bisa disangkal. Lain halnya dengan pandangan
ideal, yaitu melakukan kegiatan bisnis karena dilatarbelakangi oleh idealisme
yang luhur.
Menurut
pandangan ini bisnis adalah suatu kegiatan di antara manusia yang menyangkut
memproduksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Dasar pemikiran mereka adalah pertukaran timbal balik secara fair,
di antara pihak-pihak yang teribat. Maka yang ingin ditegakkan adalah keadilan
kumulatif dan keadilan tukarmenukar yang sebanding. Konosuke Matsushita dalam
Lee dan Yoshihara (1997) yang menyatakan bahwa tujuan bisnis sebenarnya
bukanlah mencari keuntungan, melainkan untuk melayani masyarakat. Sedangkan
keuntungan adalah simbol kepercayaan masyarakat atas kegiatan bisnis yang kita
lakukan. Fokus perhatian bisnis adalah memberi pelayanan dan pemenuhan
kebutuhan masyarakat dan kita akan memperoleh keuntungan dari pelayanan tersebut.
Pandangan bisnis ideal semacam ini, bisnis yang baik selalu memiliki misi
tertentu yang luhur dan tidak sekedar mencari keuntungan. Misi itu adalah
meningkatkan standar hidup masyarakat, dan membuat hisup manusia menjadi lebih
manusiawi melalui pemenuhan kebutuhan secara etis.
Melihat
pandangan bisnis di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa etika bisnis di
Indonesia masih jelek. Citra jelek tersebut disebabkan oleh pandangan pertama
yang melihat bisnis hanya sebagai sekedar mencari keuntungan. Tentu saja mencari
keuntungan sebagaimana dikatakan di atas. Hanya saja sikap yang timbul dari
kesadaran bahwa bisnis hanya mencari keuntungan telah mengakibatkan perilaku
yang menjurus menghalalkan segala cara demi mencari keuntungan yang sebesar-besarnya
tanpa mengindahkan nilai-nilai manusiawi lainnya seperti adanya persaingan
tidak sehat, monopoli, kecurangan, pemalsuan, eksploitasi buruh dan sebagainya.
Keuntungan adalah hal yang baik dan perlu untuk menunjang kegiatan bisnis
selanjutnya, bahkan tanpa keuntungan, misi luhur bisnis pun tidak akan tercapai.
Persoalan dihadapi di sini adalah bagaimana mengusahakan agar keuntungan yang
diperoleh itu wajar-wajar saja, karena yang utama adalah melayani dan memenuhi
kebutuhan masyarakat dengan tidak merugikan pihakpihak yang terkait dalam
bisnis ini. Perkembangan etika bisnis di Indonesia yang demikian itu, nampaknya
hingga sekarang masih jauh dari harapan.
Dampak Negatif Akibat Implementasi Bisnis yang Tidak Etis
di Indonesia
Pada dunia
bisnis, upaya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya merupakan hal
yang wajar. Bahkan upaya ini akan menyemarakkan keseluruhan sistem perekonomian
nasional, dalam arti keuntungan yang sebesarbesarnya didapatkan dengan
melaksanakan berbagai kegiatan yang akan mempengaruhi perekonomian. Namun
sayangnya dalam kenyataan upaya mendapatkan keuntungan tersebut cenderung
mengabaikan etika bisnis.
Keuntungan yang
besar diperoleh dengan mengorbankan faktor-faktor bisnis lainnya. Perilaku
bisnis yang tidak etis untuk mendapatkan keuntungan maksimum akan berdampak
sebagai berikut.
1. Upah dan
kesejahteraan karyawan menurun. Seperti diketahui bahwa salah satu ukuran yang
digunakan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya adalah memaksimumkan
hasil penjualan dan meminimumkan seluruh biaya perusahaan. Upaya meminimumkan
biaya perusahaan antara lain dengan menekan upah tenaga kerja. Akibatnya
kesejahteraan karyawan menjadi rendah dan tidak sesuai dengan kontribusi kerja
yang diberikan karyawan kepada perusahaan. Keadaan tersebut telah melanggar
etika bisnis.
2. Mematikan
usaha pemasok. Para pengusaha seringkali menekan harga faktor input yang
diperoleh dari para pemasok. Selain itu pengusaha cenderung menunda pembayaran.
Hal ini akan berakibat mematikan usaha dan mata pencaharian para pemasok.
Bahkan beberapa perusahaan besar berupaya mendirikan perusahaan baru atau
mengakuisisi perusahaan yang telah ada untuk menggantikan fungsi para pemasok.
Keadaan tersebut melanggar etika bisnis, karena etika yang benar adalah
mendorong perkembangan para pemasok yang dalam jangka panjang akan
menguntungkan perusahaan yang
bersangkutan.
3. Merusak
lingkungan. Untuk memaksimumkan keuntungan, masih banyak pengusaha yang
cenderung menggunakan input yang yang merusak lingkungan alam. Terutama hal ini
terjadi pada sektor usaha dan industri yang berorientasi pada bahan baku dari
alam. Selain itu juga proses produksi yang menghasilkan limbah industri yang
mencemari lingkungan. Ambisi para pengusaha ini melanggar etika bisnis karena
keuntungan yang didapatkan diperoleh dengan mengorbankan lingkungan hidup. Hal
ini berarti bahwa keuntungan yang diperolehnya didapat atas korban dari
masyarakat lainnya.
4. Merugikan
konsumen. Akibat ambisi pengusaha untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya, masih banyak pengusaha yang merugikan konsumen, antara lain
dengan menurunkan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan di bawah standar,
pengiriman barang yang lambat, dan menaikkan harga barang di atas norma-norma
kewajaran. Di dalam etika bisnis hal-hal tersebut melanggar moralitas usaha.
Selain itu, penyampaian output hasil usaha kepada para konsumen sering
dilaksanakan melalui pedagang perantara atau pengecer untuk memperluas jaringan
distribusi. Tindakan akuisisi jaringan pengecer (retailer) untuk kepentingan
produsen akan membunuh pedagang eceran dan hal ini melanggar etika bisnis.
5. Membohongi
bank dan lembaga pembiayaan lain. Masih banyak para konsultan yang dalam
membuat appraisal cenderung menyatakan feaseable, walaupun sebenarnya
tidak demikian. Masih banyak penilai yang menaikkan nilai aset yang bertujuan
untuk mendapatkan lebih banyak kredit. Masih banyak para akuntan yang tidak
jujur. Dengan hal-hal tersebut, maka bank dengan tanpa penelitian seksama
memberikan kredit melebihi dari yang seharusnya. Hal inipun merupakan tindakan
perusahaan yang melanggar etika bisnis.
Hal-hal di atas
merupakan contoh kegiatan yang cenderung melanggar etika bisnis . namun
demikian, pada saat ini tidak boleh pesimis dengan kemampuan etika dan moral
sebagian pengusaha kita yang berambisi untuk bisnis yang halal dan berkah.
Mereka sebagai pengusaha yang patriotik mengajak dan memperingatkan para
pengusaha lainnya untuk selalu berlaku etis dan moralis. Asosiasi pengusaha
seperti KADIN dapat menjadi pendorong ke
arah pelaksanaan etika dan moral usahawan yang lebih baik untuk itu perlu
adanya reorientasi baru di mana para pimpinan harus memahami etika dan moral
bisnis yang memadai.
Upaya Pengembangan Implementasi Etika Bisnis di Indonesia
Upaya
mengembangkan praktik bisnis yang etis di Indonesia dapat dilakukan melalui
berbagai cara yang elegan. Cara-cara tersebut antara lain meliputi:
1.
Mengembangkan lingkungan usaha yang etis. Menurut hasil penelitian di Korea dan
Jepang, praktik bisnis yang etis sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan
keluarga. Pengusaha yang berasal dari lingkungan keluarga yang tidak etis akan
menghasilkan usahawan yang tidak etis pula. Etika seseorang sangat ditentukan
oleh lingkungan kelauarga orang tersebutl. Usahawan dari lingkungan keluarga
yang baik dan moralis akan menjadi usahawan etis inti, yang diharapkan dapat
menyebar kepada usahawan lain. Pemerintah dan asosiasi pengusaha dapat membantu
menciptakan lingkungan usaha yang kondusif menuju peningkatan etika dan moral
usaha di Indonesia.
2. Menciptakan
kredo perusahaan yang etis dan moralis. Peranan kredo perusahaan yaitu
nilai-nilai falsafah perusahaan yang tercermin dalam visi dan misi bisnis akan
selalu mengingatkan pimpinan perusahaan dan seluruh staf terhadap etika dan
moral dalam bisnisnya.
3.
Mengembangkan etika melalui pendidikan manajemen. Pendidikan dan latihan manajemen
dapat menjadi sarana yang baik dalam peningkatan etika usaha di perusahaan. Di
sini perlu ditekankan bahwa pengusaha yang etis dan moralis akan dapat langgeng
dalam jangka panjang.
Sumber Referensi
Caccese, Michael,S,
1997. Ethics and Financial Analyst. Journal of Financial Analysis, Januari/February.
De George, Richard T, 1986. Business Ethics. New
York: McMilan Publishing Company.
Kennedy, Paul, 1995. Menyiapkan diri menghadapi
abad ke-21. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
Keraf, Sony,A,1991. Etika Bisnis: Membangun
Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Filsafat.
Lee, Chong Yeong dan Yoshihara,Heideki, 1997. Business
Ethics of Korea and Japanese
manager. Journal of Business Ethics16:
7-21.
Nugroho, Rianto, 1996. Obrolan 17 Praktisi Bisnis Indonesia.Jakarta:
Penerbit Elex Media Komputindo.
Ohmae, Kinichi, 1995. The End of The Nation State.
New York. The Free Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar