Rabu, 01 Juni 2016

Perlakuan Akuntansi Indonesia dalam Panama Papers

Pengertian Panama Papers
Panama Papers adalah kumpulan dokumen rahasia sebanyak 11,5 juta dokumen yang dibuat oleh penyedia jasa perusahaan asal Panama, Mossack Fonseca, yang didirikan oleh Jürgen Mossack dan Ramón Fonseca. Dokumen ini berisi informasi rinci mengenai lebih dari 214.000 perusahaan luar negeri, termasuk identitas pemegang saham dan direkturnya, yang dimiliki oleh Mossack Fonseca.
Mossack Fonseca & Co. adalah kantor hukum dan penyedia jasa perusahaan Panama yang berbasis di Panama. Mossack Fonseca & Co memiliki lebih dari 40 cabang di seluruh dunia. Kantor ini didirikan oleh Jürgen Mossack tahun 1977 dan kemudian dikembangkan oleh Ramón Fonseca pada tahun 1986.

Berawal dari Süeddeutsche Zeitung
Bocoran Panama Papers didapatkan seorang sumber yang enggan disebutkan namanya dari surat kabar asal Jerman, Süddeutsche Zeitung. Menurut situs thereportertimes.com, bocoran kemudian dibagikan ke seluruh dunia oleh International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ).
Dokumen-dokumen Panama Papers telah diteliti oleh sekitar 400 orang jurnalis dari 80 negara di dunia dan lebih dari 100 organisasi media. Organisasi-organisasi media besar seperti BBC, Guardian, Süddeutsche Zeitung, Falter, dan lain-lain turut terlibat dalam studi ini.
Lebih dari setahun lalu, sebuah sumber yang tak diketahui namanya menghubungi surat kabar terkemuka Jerman, Süddeutsche Zeitung (SZ). Sumber itu memberikan dokumen-dokumen internal Mossack Fonseca kepada SZ. Surat kabar Jerman tersebut akhirnya meneliti dokumen-dokumen yang kabarnya berukuran 2,6 terbita data. Ukuran yang luar biasa inilah yang membuat Panama Papers dianggap sebagai kebocoran dokumen terbesar dalam sejarah.
Fenomena Panama Papers pada dasarnya tidak terlepas dengan isu perencanaan pajak (tax planning), penghindaran pajak (tax avoidance) dan penggelapan pajak (tax evasion), di mana ketiganya sudah lama menjadi persoalan tersendiri bagi banyak Negara. Tax planning diartikan sebagai usaha-usaha wajib pajak dalam rangka meminimalkan pembayaran pajaknya baik untuk masa sekarang ataupun di masa yang akan datang. Upaya tax planning inilah yang berujung pada bentuk penghindarann atau penggelapan pajak.
Menurut perhitungan dari Tax Justice Network, pada tahun 2010 estimasi aliran dana dari Indonesia ke negara-negara tax haven diperkirakan mencapai USD 331 miliar. Angka tersebut hanya mengacu pada aset keuangan saja, tidak termasuk aset lainnya seperti real estate, emas batangan, dan sebagainya.
Lalu apakah yang dimaksud dengan tax haven? Menurut OECD, tax haven memiliki karakteristik sebagai berikut:
memiliki tarif pajak yang rendah atau tidak ada pajak sama sekali;
tidak memiliki skema pertukaran informasi. Ini memungkinkan mereka yang memanfaatkan tax haven tidak terdeteksi oleh otoritas pajak;
tidak adanya transparansi dalam proses legislasi, proses hukum dan administrasi dalam yurisdiksi tersebut;
tidak adanya persyaratan bahwa sebuah usaha harus memiliki substansi ekonomi. Hal ini membuat banyak entitas hanya didirikan di yurisdiksi tersebut hanya untuk mendapatkan manfaat pajak saja, tanpa benar-benar memiliki kegiatan bisnis yang substansial.
Selain keempat kriteria tersebut, masih banyak lagi kriteria lain yang digunakan, misalnya: negara tersebut memiliki tata kelola pemerintahan yang baik, kemudahan dalam penggunaan special vehicles company, kemudahan dalam mendirikan perusahaan, longgarnya pengawasan, dan kemudahan-kemudahan pajak yang hanya tersedia bagi SPDN yurisdiksi itu saja (ring fencing). Banyaknya kriteria tersebut membuat banyak pula versi dari daftar tax haven itu sendiri. Namun, dari sekian banyak kriteria yang ada, agaknya definisi dari Palan, Murphy, dan Chavagneux (2010) dirasa paling tepat, yaitu: yurisdiksi yang secara khusus membuat peraturan untuk memudahkan transaksi yang dilakukan oleh non-residen dengan maksud untuk menghindari pajak atau regulasi, yang mana difasilitasi dengan cara memberikan kerahasian guna mengamankan pihak penerima manfaat dari transaksi tersebut.

Nama sejumlah pengusaha Indonesia tercantum dalam dokumen Panama Papers. Mereka disebut memiliki sejumlah perusahaan di negara tax haven, melalui bantuan firma hukum Mossack Fonseca.
Menurut Pengamat Pajak, Darussalam, masalah seperti ini bisa diatasi dengan segera disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty atau Pengampunan Pajak. Aturan tersebut kini mulai dibahas oleh pemerintah dan DPR.
“Jalan terbaiknya adalah dengan tax amnesty, daripada melakukan klarifikasi, pemeriksaan, penyelidikan, jalan paling tercepat adalah tax amnesty. Artinya, mereka ungkapkan aset-aset atau transaksi keuangan yang melalui tax haven dan kalau merepatriasi dananya ke luar negeri, maka cukup membayar uang tebusan dengan tarif rendah. Selain itu, tax amnesty bisa menjadi masa transisi untuk menuju era pertukaran data informasi keuangan antar negara pada 2017 nanti. “Tahun 2016 ini adalah tahun terakhir untuk menerapkan tax amnesty, karena setelah tahun ini, di 2017 tak akan relevan lagi karena ada pertukaran data informasi keuangan itu. Setelah tahun ini, tak ada relevansinya lagi tax amnesty. Tax amnesty ini adalah kesempatan terbaik untuk menyelesaikan masalah perpajakan yang ada selama ini di Indonesia, daripada gaduh,” tutur Darussalam.
Dia menambahkan, bagi para pengusaha yang tak mau mengikuti tax amnesty, maka harus menjalani pemeriksaan. Jika perlu, dilanjutkan ke penyidikan apabila terbukti ada unsur pidana perpajakan.

 Menaruh Uang di Luar Negeri
Jika ada yang bertanya apakah salah orang Indonesia menaruh uang di luar negeri, jawaban singkatnya adalah jelas tidak ada yang salah. Secara normatif menyimpan uang, berinvestasi, atau mendirikan perusahaan di luar negeri adalah lazim dalam dunia usaha dan tidak ada larangan.
Beberapa alasan mengapa orang-orang kaya atau perusahaan Indonesia gemar menyimpan uang di luar negeri, salah satunya alasan keamanan. Mereka berusaha mengurangi risiko dengan menempatkan uangnya sebagian di bank-bank luar negeri, terutama di negara yang dekat dengan Indonesia seperti Singapura dan Australia yang secara ekonomi dan politik relatif lebih stabil.
Mengikuti prinsip umum berinvestasi untuk tidak menaruh telur dalam satu keranjang (don’t put your eggs in one basket), banyak orang-orang kaya menyimpan uang, membeli saham, atau properti di negara lain dengan pemikiran bahwa jika terjadi sesuatu yang buruk dengan investasinya di negara sendiri, maka masih ada uang atau investasi yang tersisa di luar negeri. Bagi suatu perusahaan, penempatan dana, investasi dan pendirian perusahaan di luar negeri adalah biasa dalam rangka diversifikasi portofolio investasi dan ekspansi bisnis.
Sepanjang orang-orang dan perusahaan-perusahaan Indonesia yang menaruh uangnya di luar negeri tersebut adalah Subjek Pajak Dalam Negeri dan telah melaporkan secara benar seluruh harta dan penghasilan yang diperoleh dari luar negeri tersebut di Indonesia–dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Orang Pribadi dan Badan–maka tidak ada masalah terkait pajak.
Untuk Wajib Pajak Dalam Negeri di Indonesia, konsep pemajakannya menganut broad based taxation yang objek pemajakannya adalah worldwide income. Artinya, semua penghasilan yang diperoleh dari dalam maupun luar negeri wajib dilaporkan untuk dihitung PPh-nya di Indonesia.
Atas pajak penghasilan yang dibayarkan di negara lain terkait langsung dengan penghasilan luar negeri yang dilaporkan di Indonesia dapat diperhitungkan dengan pajak terutang di Indonesia sebagai pengurang (kredit pajak) berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Selain yang berstatus Subjek Pajak Dalam Negeri, terdapat kelompok orang Indonesia yang termasuk kategori Subjek Pajak Luar Negeri, yaitu orang yang bertempat tinggal di luar negeri atau orang yang berada tidak lebih dari 183 hari di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas bulan).
Misalnya, seorang WNI yang bekerja di Australia dan menjadi permanent resident di sana dan hanya sesekali pulang ke Indonesia selama 2-3 minggu untuk berlibur setiap tahunnya adalah termasuk Subjek Pajak Luar Negeri yang tidak diwajibkan memiliki NPWP di Indonesia dan hanya dipajaki di Indonesia terbatas pada penghasilan yang diperoleh Indonesia saja. Dengan kata lain sepanjang WNI berstatus Subjek Pajak Luar Negeri tersebut tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia, mereka tidak akan dikenakan pajak di Indonesia. Yang jadi masalah adalah apabila uang atau investasi di luar negeri oleh Subjek Pajak Dalam Negeri berasal dari penghasilan yang belum dilaporkan atau belum dikenai pajak di Indonesia.

Selain itu, hasil dari investasi di luar negeri tersebut juga tidak dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh-nya. Kalau ini jelas merupakan perbuatan melanggar hukum berupa penggelapan pajak (tax evasion). Indikasi penggelapan pajak lebih tampak jika penempatan dana tersebut di negara-negara surga pajak (tax haven). Sebab,  jika orang-orang kaya Indonesia murni ingin mendapatkan keuntungan dari investasi, tidak perlu jauh-jauh ke negara tax haven karena Indonesia merupakan salah satu negara tujuan orang dan perusahaan asing berinvestasi. Hal ini terbukti dari banyaknya investasi asing yang masuk ke negara ini. Investor di Bursa Efek Indonesia sejak lama didominasi oleh investor asing.

Negara Tax Haven
Julukan negara tax haven selama ini melekat pada negara-negara yang mengenakan tarif pajak sangat rendah atau bahkan tidak mengenakan pajak sama sekali.  Negara-negara tersebut sangat ketat dalam menjaga kerahasiaan serta  tidak bersedia melakukan pertukaran informasi dengan negara lain. Negara-negara tax haven sangat menarik bagi orang atau perusahaan yang gemar melakukan penyelundupan pajak (tax evasion) atau perencanaan penghindaran pajak secara agresif (agressive tax panning) melalui berbagai rekayasa transaksi keuangan.
Lebih dari itu, negara-negara tax haven menjadi tempat favorit bagi para koruptor, mafia perdagangan narkotika maupun pelaku tindak kriminal untuk melakukan pencucian uang (money laundering). Beberapa negara tax haven yang populer antara lain adalah British Virgin Island, Luxembourg, Bahama, dan Cayman Island.
Pendirian perusahaan sebagai Special Purpose Vehicle (SPV) atau disebut juga dengan Shell Company di luar negeri (off-shore), terutama di negara tax haven, sering ditujukan untuk melakukan penghindaran pajak dengan pola atau skema transaksi yang sangat canggih, sehingga sulit dilacak siapa pemilik atau penerima manfaat sebenarnya (ultimate beneficial owner) dari suatu investasi atau modal perusahaan.
Namun demikian, ada juga pendirian SPV yang tidak dimaksudkan untuk menggelapkan pajak. Beberapa perusahaan nasional Indonesia menerbitkan obligasi melalui SPV yang didirikan di luar negeri dengan jaminan aset perusahaan tersebut.
Pendirian SPV di luar negeri dalam hal ini untuk memudahkan akses dana di pasar global. Dana yang murah (jika dibandingkan dengan bunga obligasi di dalam negeri) yang diperoleh SPV di luar negeri, kemudian disalurkan ke perusahaan di Indonesia sebagai pinjaman. Pembayaran bunga pinjaman oleh perusahaan ke SPV di luar negeri lalu digunakan untuk membayar bunga obligasi kepada pemegang obligasi (bond holders).
Maraknya penghindaran dan penggelapan pajak secara global, terutama yang melibatkan negara-negara tax haven mendorong negara-negara yang tergabung dalam G-20 termasuk Indonesia sebagai salah satu anggotanya bersama Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau The Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) bersepakat untuk mencegah dan memeranginya melalui 15 rencana aksi  terhadap apa yang dikenal dengan Base Erosion Profit Shiting (BEPS).

Salah satu realisasi dari aksi tersebut komitmen untuk melakukan pertukaran informasi secara otomatis (automatic exchange of information) antar negara yang akan mulai diadopsi lebih awal di tahun 2017 dan berlaku penuh di tahun 2018. Pertukaran informasi ini akan mempersempit ruang gerak para individu dan perusahaan pengemplang pajak karena data nasabah perbankan antar negara akan saling dipertukarkan. Negara yang tidak bersedia bekerja sama dalam pertukaran informasi akan dimasukkan dalam black list.

Belum Tentu Pengemplang Pajak
Sejumlah 2961 nama orang dan perusahaan Indonesia yang tercantum dalam Panama Papers, termasuk beberapa pengusaha dan politikus terlalu dini untuk dicap sebagai kelompok yang melakukan penggelapan pajak tanpa terlebih dahulu melakukan pembuktian.
Data-data dalam pemberitaan baru terbatas pada penyebutan nama saja, sedangkan berapa banyak dana, dalam bentuk apa dana tersebut, dan ditaruh di negara mana semuanya belum terungkap. Pertama, harus divalidasi dulu kebenaran nama-nama WNI dalam daftar tersebut dan perlu diidentifikasi apakah nama-nama WNI tersebut merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri atau Subjek Pajak Luar Negeri. Penelitian  tentu difokuskan kepada WNI yang statusnya sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri yang kewajiban perpajakannya memang bersifat worldwide income.
Pembandingan juga diperlukan terhadap data orang-orang tersebut yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak (jika ada). Akhirnya pencocokan antara harta dan penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi dengan data-data dari Panama Papers akan menentukan apakah orang-orang tersebut pengemplang pajak atau bukan. Hal yang sama juga perlu dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan yang namanya masuk dalam daftar.
Bocoran data Panama Papers tentu saja menjadi data penting sebagai pembanding bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk penelitian lebih lanjut. Khususnya pada saat program Tax Amnesty yang diharapkan oleh pemerintah disetujui oleh DPR untuk dilaksanakan  dalam tahun ini dan untuk langkah lain yang  perlu dilakukan untuk pemungutan pajak sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di Indonesia.

Sumber:


Kamis, 12 Mei 2016

Review Standar Akuntansi Keuangan Menuju Konvergensi

Sasaran konvergensi PSAK ke IFRS yang direncanakan Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI:

Tahap Adopsi
(2008 – 2010)
Tahap Persiapan Akhir
(2008 – 2010)
Tahap Implementasi
(2008 – 2010)
Adopsi seluruh IFRS ke PSAK
Penyelesaian persiapan infrastruktur yang diperlukan
Penerapan PSAK berbasis IFRS secara bertahap
Persiapan infrastruktur yang diperlukan
Penerapan secara bertahap beberapa PSAK berbasis IFRS
Evaluasi dampak penerapan PSAK secara komprehensif
Evaluasi dan kelola dampak adopsi terhadap PSAK yang berlaku

Jika kita bandingkan antara semua standar akuntansi yang dimiliki Indonesia dengan IFRS, dengan jelas kita temukan perbedan kuantitas sebagai berikut:
PSAK
IFRS
43 Standards (PSAK)
8 Syari’ah Standard
11 Interpretation (ISAK)
4 Technical Bulletins
1 SAK ETAP (Entitas tanpa akuntanbilitas publik/UKM)
37 Standards
– 8 IFRS
– 29 IAS
27 Interpretation
16 IFRIC Interpretation
11 SIC

 Di Indonesia juga masih terdapat Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang masih mengacu pada PSAK lama. Kemungkinan besar setelah konvergensi PSAK ke IFRS akan menyusul perubahan pada SAP.
Tidak semua standar IFRS tersebut diatas dicontek habis dan dirubah menjadi PSAK, itulah mengapa IAI memilih konvergensi dari para adaption dan adoption. Sedikit gambaran saja untuk membedakan ketiga istilah dalam tabel berikut:

Perbedaan
Adaption
Convergence
Full Adoption
Arti harafiah
Adaptasi/Penyelarasan
Pertemuan pada suatu titik
Adopsi/pemakaian
Standart akuntansi
Membuat standar yang benar benar baru
Membuat standar baru dengan mempertimbangkan keadaan yang berlaku
Mentranslet standar lama menjadi standar baru
Contoh Negara
Indonesia sebelum IFRS
Indonesia setelah 2012
Australia, Hongkong

Mengutip pernyataan Prof Indra Wijaya dalam orasi ilmiah pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, beliau mengatakan: “Indonesia mengadopsi secara penuh seperti Australia sangat tidak mungkin, adopsi yang mungkin adalah Mengadopsi IFRS berkarakteristik Indonesia yang lebih bersifat taylor-made namun memenuhi kebutuhan internasional serta dapat melepaskan diri dari tekanan dunia internasional”. Pernyataan itulah yang lebih tepat menjelaskan istilah konvergensi bagi Indonesia.
Berikut saya sajikan perkembangan konvergensi PSAK ke IFRS sampai dengan saat ini:
PSAK/ISAK yang berlaku efektif 2008 -2010

No
PSAK/ISAK
Ref
Issued
Effective Date
1
PSAK 13 Properti Investasi
IAS 40
2007
1-Jan-08
2
PSAK 16 Aset Tetap
IAS 16
2007
1-Jan-08
3
PSAK 30 Sewa
IAS 17
2007
1-Jan-08
4
PSAK 14 Persediaan
IAS 2
2008
1-Jan-09
5
PSAK 26 Biaya Pinjaman
IAS 23
2008
1-Jan-10
6
PSAK 50 Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan
IAS 32
2006
1-Jan-10
7
PSAK 55 Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran
IAS 39
2006
1-Jan-10
8
ISAK 8 Penentuan Apakah Suatu Perjanjian Mengandung Suatu Sewa dan Pembahasan Lebih Lanjut Ketentuan Transisi
IFRIC 4
2007
Sep-10

PPSAK (Pencabutan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan)/ISAK yang berlaku efektif 2008 -2010
No
PSAK/ISAK
Issued
Effective Date
1
PPSAK No.1
Pencabutan:
PSAK 32: Akuntansi Kehutanan
PSAK 35: Akuntansi Pendapatan Jasa Telekomunikasi
PSAK 37: Akuntansi Penyelenggaraan Jalan Tol
2009
1-Jan-10
2
PPSAK No.2
Pencabutan:
PSAK 41: Akuntansi Waran
PSAK 43: Akuntansi Anjak Piutang
2009
1-Jan-10
3
PPSAK No.3
Pencabutan:
PSAK 54: Akuntansi Restrukturisasi Utang Piutang Bermasalah
2009
1-Jan-10
4
PPSAK No.4
Pencabutan:
PSAK 31: Akuntansi Perbankan
PSAK 43: Akuntansi Perusahaan Efek
2009
1-Jan-10
5
PPSAK No.5
Pencabutan:
ISAK 06: Interpretasi atas Par.12 dan 16 PSAK 55 (1999) Tentang Instrumen Derivatif Melekat pada Kontrak dalam Mata Uang Asing
2009
1-Jan-10

PSAK yang berlaku efektif per 1 Januari 2011

No
PSAK
Ref
1
PSAK 1
Penyajian Laporan Keuangan
IAS 1
Presentation of Financial Statement
2
PSAK 2
Laporan Arus Kas
IAS 7
Statement of Cash Flow
3
PSAK 3
Laporan Keuangan Interim
IAS 34
Interim Financial Reporting
4
PSAK 4
Laporan Keuangan Konsolidasian dan Laporan Keuangan Tersendiri
IAS 27
Consolidated and Separated Financial Statement
5
PSAK 5
Segen Operasi
IFRS 8
Segment Reporting
6
PSAK 7
Pengungkapan Pihak-pihak yang Berelasi
IAS 24
Related Party Disclosures
7
PSAK 12
Bagian Partisipasi Dalam Ventura Bersama
IAS 31 
Interest in Joint Ventures
8
PSAK 15
Investasi Pada Entitas Asosiasi
IAS 28
Investment in Associates
9
PSAK 19
Aset Tak Berwujud
IAS 38
Intangible Assets
10
PSAK 22
Kombinasi Bisnis
IFRS 3
Business Combination
11
PSAK 23
Pendapatan
IAS 18
Revenue
12
PSAK 25
Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi & Kesalahan
IAS 8
Accounting Policies, Change in Accounting Estimated and Errors
13
PSAK 48
Penurunan Nilai Aset
IAS 36
Impairment of Assets
14
PSAK 57
Provisi, Liabilitas Kontijensi & Aset Kontijensi
IAS 37
Provisions, Contingent Liabilities
15
PSAK 58
Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual & Operasi yang Dihentikan
IFRS 5
Non-current Assets Held for sale and Discontinued Operations

ISAK yang berlaku efektif per 1 Januari 2011

No
ISAK
Ref
1
ISAK 7
Konsoliasi Entitas Bertujuan Khusus
SIC 12
Consolidation – Special Purposes Entities
2
ISAK 9
Perubahan Atas Liabilitas Purna Operasi, Liabilitas Restorasi & Liabilitas Serupa
IFRIC 1
Change in Existing Decommissioning, Restoration and Similar Liabilities
3
ISAK 10
Program Loyalitas Pelanggan
IFRIC 13
Customer Loyalty Programs
4
ISAK 11
Distribusi Aset Non Kas Kepada Pemilik
IFRIC 17
Distributions of Non-Cash Assets to Owners
5
ISAK 12
Pengendalian Bersama Entitas: Kontribusi Nonmoneter oleh Venturer
SIC 13
Jointly Controlled Entities – Non Monetary Contributions by Venturers
6
ISAK 14
Aset Tak Berwujud: Biaya Situs Web
SIC 32
Intangible Assets – Web Site Costs

PSAK yang berlaku efektif per 1 Januari 2012

No
PSAK
Ref
1
PSAK 8
Peristiwa Setelah Tanggal Neraca
IAS 10
Event After Balance Sheet Date
2
PSAK 10
Pengaruh Perubahan Nilai Tukar Valuta Asing
IAS 21
The Effect of Change in Foreign Exchange Rates
3
PSAK 34
Akuntansi Kontrak Konstruksi
IAS 11
Construction Contact
4
PSAK 46
Akuntansi Pajak Penghasilan
IAS 12
Income Taxes
5
PSAK 24
Imbalan Kerja
IAS 19
Employee Benefit
6
PSAK 18
Akuntansi dan Pelaporan Program Manfaat Purnakarya
IAS 26
Accounting and Reporting by Retirement Benefit Plans
7
PSAK 56
Laba per Saham
IAS 33
Earnings per Share
8
PSAK 53
Pembayaran Berbasis Saham
IFRS 2
Share-based payment
9
PSAK 28
Akuntansi Akuntansi Kerugian
IFRS 4
Insurance Contract
10
PSAK 36
Akuntansi Akuntansi Jiwa
11
PSAK 29
Akuntansi Minyak dan Gas Bumi
IFRS 6
Exploration for and Evaluation of Mineral Resources
12
New PSAK (ED PSAK 60)
IFRS 7
Financial Instrument: Disclosure
13
New PSAK (ED PSAK 61)
IAS 20
Accounting for Government Grants and Disclosure of Government Grant
14
New PSAK (ED PSAK 63)
IAS 29
Financial Reporting in Hyper Inflationary
15
New PSAK
IAS 41
Agriculture

ISAK yang berlaku efektif per 1 Januari 2012

No
PSAK
Ref
1
ISAK 13
Lindung Nilai Investasi Neto dalam Kegiatan Usaha Luar Negeri
IFRIC 16
Hedges of Net Investment in a Foreign Operation
2
ED ISAK 16
Perjanjian Konsesi Jasa
IFRIC 12
Service Concession Arrangements
3
ED ISAK 15
PSAK 24 – Batas Aset Imbalan Pasti, Persyaratan Pendanaan Minimum dan Interaksinya
IFRIC 14
IAS 19 – The Limit on a Defined benefit Asset, Minimum Funding Requirement and their Interaction
4
ED ISAK 17
Laporan keuangan Interim dan penurunan Nilai
IFRIC 10
Interim Financial Reporting and Impairment

PSAK akan dicabut, dikaji dan direvisi berlaku efektif per 1 Januari 2012

No
PSAK
Ref
1
PSAK 21 Ekuitas
Akan dicabut
2
PSAK 27 Akuntansi Koperasi
Akan dicabut
3
PSAK 38 Restrukturisasi Entitas Sepengendali
Masih dikaji
4
PSAK 44 Aktivitas pengembangan Real Estat
Masih dikaji, kemungkinan diganti IFRIC 15
5
PSAK 51 Kuasi Reorganisasi
Masih dikaji
6
PSAK 45 Akuntansi Entitas Nirlaba
Direvisi
7
PSAK 47 Akuntansi Tanah
Masih dikaji
8
PSAK 39 Akuntansi Kerjasama Operasi
Masih dikaji


Sumber:
https://akuntansiterapan.com/2011/01/06/perkembangan-konvergensi-psak-ke-ifrs/
http://kaukesbokan.blogspot.co.id/2015/03/psak-ke-ifrs.html