Minggu, 27 Desember 2015

Kasus Manajemen Krisis yang Disebabkan Bencana Alam

Contoh Kasus Manajemen Krisis Yang Disebabkan Bencana Alam Pada PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk

Indonesia rentan terhadap bencana alam dan peristiwa-peristiwa di luar kendali kami, yang berpengaruh negatif pada bisnis dan hasil usaha kami
Banyak daerah di Indonesia, termasuk daerah di mana kami beroperasi, rentan terhadap bencana alam seperti banjir, petir, angin ribut, gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, kebakaran dan juga kekeringan, pemadaman listrik dan peristiwa lainnya yang berada di luar kendali kami. Kepulauan Indonesia adalah salah satu daerah vulkanik paling aktif di dunia karena berada di zona konvergensi dari tiga lempeng litosfer utama, sehingga mengalami aktivitas seismik yang dapat menyebabkan gempa bumi, tsunami atau gelombang pasang yang merusak. Dari waktu ke waktu, bencana alam telah menelan korban jiwa, merugikan atau membuat sejumlah besar masyarakat mengungsi dan merusak peralatan kami. Peristiwa-peristiwa seperti ini telah terjadi di masa lalu, dan dapat terjadi lagi di masa depan, mengganggu kegiatan usaha kami, menyebabkan kerusakan pada peralatan dan memberikan pengaruh buruk terhadap kinerja finansial dan keuntungan kami.
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa bencana alam telah terjadi di Indonesia (selain tsunami di Asia pada tahun 2004), termasuk tsunami di Pangandaran, Jawa Barat pada tahun 2006, gempa bumi di Yogyakarta, Jawa Tengah pada tahun 2006, erupsi yang kemudian berkembang menjadi banjir lumpur panas di Sidoarjo Jawa Timur di tahun 2006, serta gempa bumi di Papua, Jawa Barat, Sulawesi dan Sumatera pada waktu yang berbeda di tahun 2009.
Gempa bumi yang melanda sebagian wilayah Jawa Barat pada tanggal 2 September 2009 menyebabkan kerusakan pada aset Perusahaan. Pada tanggal 30 September 2009 terjadi gempa di Sumatera Barat, yang mengganggu penyediaan layanan telekomunikasi di beberapa lokasi. Walaupun Tim Manajemen Krisis kami bekerjasama dengan karyawan dan mitra kami berhasil memulihkan layanan dengan cepat, gempa tersebut menyebabkan kerusakan parah terhadap aset kami. Ada sejumlah gempa bumi terdeteksi pada tahun 2010 hingga 2013, walau tidak satupun yang memberikan risiko signifikan terhadap bisnis kami pada umumnya.
Banjir bandang dan banjir yang lebih meluas terjadi secara rutin selama musim hujan dari bulan November sampai bulan April. Kota-kota besar khususnya Jakarta, sering mengalami banjir parah yang mengakibatkan gangguan besar, dan kadang-kadang menimbulkan korban jiwa. Jakarta mengalami banjir yang signifikan pada bulan Februari 2007 dan Solo di Jawa Tengah pada bulan Januari. Pada bulan Januari 2009 terjadi hujan deras yang menyebabkan runtuhnya sebuah bendungan diluar Jakarta, membanjiri ratusan rumah di daerah padat penduduk dan menyebabkan kematian sekitar 100 orang. Longsor terjadi secara rutin di daerah pedesaan selama musim hujan.
Ada banyak gunung berapi di Indonesia yang dapat meletus tanpa peringatan. Pada bulan Oktober dan November 2010, Gunung Merapi di Jawa Tengah meletus beberapa kali, menelan korban jiwa sekitar 140 orang, beberapa ratus ribu orang lainnya pada radius 20 km terpaksa mengungsi, menyebabkan kerusakan properti senilai miliaran Dolar dan mengganggu perjalanan udara. Sejak bulan April 2008, Gunung Soputan di Sulawesi Utara, Gunung Egon di Pulau Flores, Nusa Tenggara, Gunung Ibu di Maluku Utara dan Anak Krakatau di Selat Sunda telah menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanik. Gunung Sinabung 60 km barat daya dari Medan, kota terbesar Sumatera Utara, meletus pada tanggal 29 Agustus 2013 setelah tidak beraktivitas selama 400 tahun, dan kembali meletus bulan November 2013. Abu dan asap belerang dari gunung berapi telah menyelimuti pedesaan dan tanaman.
Pada tahun 2010, kabel bawah laut yang merupakan bagian dari backbone kami mengalami kerusakan akibat dari tsunami di Sumatera Barat dan gempa di Sumbawa. Atas kerusakan tersebut, sudah dilakukan perbaikan.
Meskipun kami telah menerapkan Rencana Kelanjutan Usaha (Business Continuity Plan/“BCP”) dan Rencana Pemulihan Bencana (Disaster Recovery Plan/“DRP”) yang diuji coba secara berkala, serta telah mengasuransikan aset kami untuk melindungi dari kerugian akibat bencana alam atau fenomena lainnya yang terjadi di luar kendali kami, tidak ada jaminan bahwa perlindungan asuransi akan cukup untuk menutupi potensi kerugian, atau bahwa premi yang dibayarkan untuk polis asuransi tersebut ketika diperbarui tidak akan naik secara substansial di masa depan, maupun bahwa bencana alam tidak akan mengganggu operasional kami secara signifikan.
Kami tidak dapat memberi jaminan bahwa peristiwa geologis atau meteorologis di masa depan tidak akan berdampak lebih besar pada perekonomian Indonesia. Gempa bumi besar, gangguan geologis atau bencana lain akibat gangguan cuaca di kota yang padat penduduk manapun dan pusat-pusat keuangan di Indonesia dapat sangat mengganggu ekonomi Indonesia dan menurunkan kepercayaan investor, sehingga berpengaruh pada bisnis, kondisi keuangan, hasil operasi dan prospek usaha kami.

Analisa
Pembelajaran Peran Perusahaan dalam Penanggulangan Bencana di Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, ada banyak pembelajaran yang bisa diambil oleh para pemangku kepentingan, khususnya perusahaan, berkenaan dengan upaya penanggulangan bencana yang telah dilakukan sejauh ini. Apabila dikaitkan dengan siklus manajemen bencana, maka sebagian besar perusahaan di Indonesia masihlah berkutat pada upaya tanggap darurat, dan masih sangat sedikit yang masuk dalam ranah pencegahan dan mitigasi, pengurangan risiko bencana, maupun pengembalian penghidupan masyarakat pasca bencana. Sehingga wajar jika di saat tidak ada bencana, jarang kita mendengar kiprah perusahaan dalam bidang kebencanaan.

Hal yang kontras apabila dibandingkan dengan kondisi saat terjadi bencana, di mana puluhan atau bahkan ratusan perusahaan tiba-tiba menjadi sangat peduli dengan memberikan bantuan kepada korban bencana. Walaupun kadang bantuan tersebut diberikan dengan cara atau strategi yang tidak sesuai dengan bagaimana seharusnya bantuan untuk tanggap darurat diberikan. Sering pula jenis bantuan yang diberikan tidak menjawab kebutuhan masyarakat yang menjadi korban bencana. Alhasil, bantuan yang diberikan seringkali tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh korban bencana.

Kontribusi perusahaan di Indonesia dalam masalah kebencanaan memang sangat tergantung pada seberapa besar tingkat kesadaran, khususnya manajemen puncak, pemilik atau pemegang saham perusahaan tersebut. Semakin tinggi tingkat kesadarannya tentu harapan untuk memberikan komitmen yang semakin besar terhadap upaya penanggulangan bencana dapat diwujudkan dengan mudah. Sebaliknya, jika tingkat kesadaran dari manajemen, pemilik maupun pemegang saham perusahaan masih rendah, akan sulit untuk memintakan komitmen yang lebih dalam upaya penanggulangan bencana. Padahal dengan tingkat komitmen yang tinggi, diharapkan kontribusi nyata yang diberikan perusahaan pun akan semakin tinggi. Baik kontribusi tersebut berupa kontribusi finansial (cash donation), bantuan berupa barang dan atau jasa (in-kind contribution), bantuan berupa keahlian tertentu secara cuma-cuma (pro bono), maupun bantuan-bantuan dalam wujud yang lainnya.

Apabila kita kelompokkan berdasarkan tingkat kesadaran, komitmen dan kontribusi yang diberikan perusahaan dalam penanggulangan bencana, maka penulis bersepakat untuk menyatakan adanya tiga tingkatan, yaitu: 1) Kelompok perusahaan konvensional; 2) Kelompok perusahaan progresif; dan 3) Kelompok perusahaan terdepan (advance). Berdasarkan pengalaman, pengamatan dan pemahaman penulis mengenai kebencanaan, maka penulis berupaya untuk mendeskripsikan ciri-ciri umum dari masing-masing kelompok tersebut sebagai berikut.

Pertama adalah kelompok perusahaan konvesional, di mana kelompok ini salah satunya dicirikan dengan tingkat kesadaran yang relatif rendah mengenai penanggulangan bencana. Kelompok ini biasanya baru akan mengerahkan sumberdayanya, jika bencana berpotensi menimbulkan kerugian dan berdampak langsung pada aset-aset perusahaan atau manakala perusahaan berkepentingan untuk menciptakan citra positif di mata pemangku kepentingan dan media. Dengan tingkat kesadaran yang rendah dan komitmen manajemen yang rendah, maka kelompok perusahaan seperti ini biasanya memberikan kontribusi dalam jumlah yang relatif kecil.

Dalam banyak kasus bencana, paket bantuan yang menjadi favorit bagi perusahaan seperti ini adalah bahan makanan pokok seperti mie instan, air minum, makanan kaleng, dan sejenisnya. Kelompok ini pun biasanya datang ke lokasi bencana “hanya” untuk menyerahkan bantuan kepada perwakilan masyarakat setempat, tanpa berupaya memahami kebutuhan korban dengan baik. Kelompok perusahaan seperti ini belum berpikir mengenai tindakan atau program yang hendaknya dilakukan sebelum bencana terjadi atau penanganan dan pemulihan kehidupan korban pasca-bencana. Sehingga secara umum ciri kelompok ini adalah reaktif terhadap bencana.

Kelompok kedua adalah kelompok perusahaan progresif. Salah satu ciri kelompok ini adalah tingkat kesadaran mengenai kebencanaan yang lebih baik, yang biasanya ditandai dengan upaya untuk mengintegrasikan risiko bencana ke dalam manajemen risiko bisnisnya. Sehingga bagi kelompok ini, walaupun tidak ada bencana, mereka telah melakukan upaya untuk mengantisipasi atau memitigasi risiko bencana dengan misalnya membuat rencana kontingensi, melakukan penilaian risiko dan kerentanan di seluruh lokasi operasional atau unit bisnis, melakukan pelatihan internal dan simulasi mengenai kegawatdaruratan serta membuat sistem manajemen tanggap darurat.

Selain itu, jika perusahaan ini hendak memberikan kontribusi kepada korban bencana, maka didahului dengan proses penilaian kebutuhan secara cepat (rapid assessment). Paket bantuan yang diberikan pun biasanya beragam mulai dari pengiriman tim kesehatan, tim penolong (rescue team), pengiriman logistik (bahan makanan, perlengkapan toiletries atau bahan bangunan), penyediaan shelter sementara, pemulihan trauma pasca-bencana (fisik, mental, psikologi atau spiritual) sampai partisipasi dalam pemulihan kehidupan masyarakat pasca-bencana, baik melalui perbaikan sarana infrastruktur, pemulihan akses ekonomi, dan pengembalian penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood program) bagi masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa kelompok ini adalah kelompok yang adaptif terhadap bencana.


Terakhir adalah kelompok perusahaan terdepan. Perusahaan-perusahaan yang berada di kelompok ini tidak hanya bertindak ketika bencana terjadi, namun tindakannya merentang dari pencegahan dan mitigasi, pengurangan risiko, penanganan bencana dan pemulihan kehidupan pasca-bencana. Kelompok ini selain berupaya mengintegrasikan risiko bencana dalam risiko bisnisnya, juga berupaya untuk menumbuhkan kesadaran mengenai pentingnya mengantisipasi kejadian bencana kepada pemangku kepentingan, khususnya komunitas di sekitar wilayah operasinya. Perusahaan di kelompok ini menyadari bahwa perusahaan juga mempunyai peran yang strategis untuk meminimalkan dampak negatif bencana dengan melaksanakan berbagai program pencegahan, mitigasi, pelatihan dan simulasi kesiapsiagaan serta pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat. Oleh karena itu, perusahaan dalam kelompok ini tidak hanya “sibuk” ketika terjadi bencana, tapi juga mempunyai program yang terstruktur untuk mengantisipasi terjadinya bencana.

Sumber referensi
http://nikenwp.blogspot.co.id/2015_11_01_archive.html