Kamis, 22 Oktober 2015

Contoh evaluasi terhadap kode perilaku korporasi

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI

Kejahatan Korporasi; kejahatan yang dilakukan oleh para karyawan atau pekerja terhadap korporasi, korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk melakukan kejahatan
Pada awalnya korporasi atau badan hukum (rechtpersoon) adalah subjek yang hanya dikenal di dalam hukum perdata. Apa yang dinamakan badan hukum itu sebenarnya adalah ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang diberi status sebagai subjek hukum, di samping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah (natuurlijk persoon). Dengan berjalannya waktu, pesatnya pertumbuhan ekonomi dunia yang mengarah ke globalisasi dimana memberikan peluang yang besar akan tumbuhnyaperusahaan-perusahaan transnasional, maka peran dari korporasi makin sering kita rasakan bahkan banyak memengaruhi sektor-sektor kehidupan manusia. Dampak yang kita rasakan menurut sifatnya ada dua yaitu dampak positf dan dampak negatif. untuk yang berdampak positif, kita sependapat bahwa itu tidak menjadi masalah namun yang berdampak negatif inilah yang saat ini sering kita rasakan.
Tahun 1984, terjadi suatu tragedi yang menggemparkan dunia dimana terjadi bencana kimiawi akibat kebocoran gas pada pabrik milik Unicon Carbide India Limited, di Bhopal India. Tragedi tersebut kita kenal dengan Tragedi Bhopal, kejadian tersebut terjadi akibat buruknya sistem pengamanan dan tindakan penghematan baiaya yang berlebihan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. efek dari peristiwa tersebut dapat dirasakan hingga 20 tahun.
Tragedi Bhopal hanyalah sebagian kecil dari peristiwa yang diakibat oleh kegiatan korporasi di dunia ini. Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan dampak negatif dari kegiatan korporasi. Di Indonesia mungkin peristiwa yang masih hangat yaitu peristiwa munculnya sumber lumpur di sidoarjo yang diindikasikan disebabkan oleh kegiatan pengeboran yang tidak memenuhi standar dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas. Akibat peristiwa tersebut ribuan orang kehilangan tempat tinggal akibat terendam lumpur, belum lagi industri-industri disekitar semburan lumpur yang harus tutup akibat tidak bisa berproduksi yang mengakibatkan ribuan orang kehilangan pekerjaannya.

Kejahatan Korporasi (Corporate Crime)
Akibat semakin dirasakannya dampat negatif yang disebabkan oleh kegiatan korporasi, maka negara-negara maju khususnya yang perekonomiannya baik mulai mencari cara untuk bisa meminimalisir atau mencegah dampak tersebut salahsatunya dengan menggunakan istrumen hukum pidana (bagian dari hukum publik). Sebenarnya kejahatan korporasi (corporate crime) sudah dikenal lama dalam ilmu kriminologi. Di kriminologi sendiri corporate crime merupakan bagian dari kejahatan kerah putih (white collar crime). White collar crime sendiri diperkenalkan oleh pakar kriminologi terkenal yaitu E.H. Sutherland (1883-1950) dalam pidato bersejarahnya yang dipresentasikan "...at the thirty-fourth annual meeting of the American Sociological Society ini Philadelphia on 27 December 1939". semenjak itu banyak pakar hukum maupun kriminologi mengembangkan konsep tersebut.
Dalam perjalanannya pemikiran mengenai corporate crime, banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum khususnya hukum pidana. Di hukum pidana ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin ''universitas delinquere non potest'' (korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana), ini dipengaruhi pemikiran, bahwa keberadaan korporasi di dalam hukum pidana hanyalah fiksi hukum yang tidak mempunyai mind, sehingga tidak mempunyai suatu nilai moral yang disyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal dalam suatu delik/Tindak pidana mensyaratkan adanya kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan (actus reus) atau dikenal dengan ''actus non facit reum, nisi mens sit rea''.
Namun masalah ini sebenarnya tidak menjadi masalah oleh kalangan yang pro terhadap pemikiran corporate crime. Menurut Mardjono Reksodiputro ada dua hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu, pertama tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada korporasi. Menurut pendapat beliau, hal yang pertama untuk dapat dikonstruksikan suatu perbuatan pengurus adalah juga perbuatan korporasi maka digunakanlah “asas identifikasi” . Dengan asas tersebut maka perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi, diidentifikasikan (dipersamakan) dengan perbuatan korporasi itu sendiri. Untuk hal yang kedua, memang selama ini dalam ilmu hukum pidana gambaran tentang pelaku tindak pidana masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pembuat (fysieke dader) namun hal ini dapat diatasi dengan ajaran “pelaku fungsional” (functionele dader) . Dengan kita dapat membuktikan bahwa perbuatan pengurus atau pegawai korporasi itu dalam lalu lintas bermasyarakat berlaku sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan maka kesalahan (dolus atau culpa) mereka harus dianggap sebagai keasalahan korporasi.
Di negara-negara Common Law System seperti Amerika, Inggris, dan Kanada upaya untuk membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability) sudah dilakukan pada saat Revolusi Industri. Menurut Remy Sjahdeini ada dua ajaran pokok yang menjadi bagi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut adalah doctrine of strict liability dan ''doctrine of vicarious liability''. Berdasarkan ajaran strict liability pelaku tindak pidana dapat diminta pertanggungjawabannya tanpa disyaratkannya adanya kesalahan sedangkan menurut ajaran vicarious liability dimungkinkan adanya pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan.

KEJAHATAN KORPORASI

Aktris Julia Roberts meraih Academy Awards pada tahun 2001 melalui filmnya Erin Brokovich yang menceritakan tentang seorang paralegal bernama sama dengan judul film tersebut, yang mengangkat kasus nyata yang terjadi di Amerika Serikat, dimana perusahaan Pacific Gas and Electric (PG&E Corporation) yang mengetahui bahwa salah satu unit stasiun kompressornya di Hinckley telah mencemarkan air di daerah tersebut.  Perusahaan itu tidak mengumumkannya tetapi justru meyakinkan para penduduk setempat dengan memberikan laporan pemeriksaan air di Hinckley yang hasilnya menunjukkan bahwa air di daerah mereka aman untuk dikonsumsi.  Akibatnya, para pengguna air yang telah terkontaminasi menderita berbagai macam penyakit dan bahkan sampai meninggal dunia (industrial poisoning). Kasus ini menjadi salah satu kasus corporate crime terbesar dengan penjatuhan sanksi pidana berupa pembayaran ganti rugi dengan jumlah yang terbesar dalam sejarah Amerika Serikat.
Kejahatan korporasi (corporate crime) merupakan  salah satu wacana yang timbul dengan semakin majunya kegiatan perekenomian dan teknologi. Corporate crime bukanlah barang baru, melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan.  Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan peradaban dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan berserta kompleksitasnya.   Di sisi lain, ketentuan Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia belum dapat menjangkaunya dan senantiasa ketinggalan untuk merumuskannya. Salah satu contohnya adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) yang baru dikriminalisasi secara resmi pada tahun 2002.  Contoh lain adalah kejahatan dunia maya atau cyber crime yang sampai dengan saat ini pengaturannya masih mengundang tanda tanya.  Akibatnya, banyak bermunculan tindakan-tindakan atau kasus-kasus illegal, namun tidak dapat dikategorikan sebagaicrime.
Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal liability.  Yang pada gilirannya mengundang perdebatan adalah bagaimana pertanggungjawaban korporasi atau corporate liability mengingat bahwa di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana.  Jika seandainya kegiatan atau aktivitas yang dilakukan untuk dan atas nama suatu korporasi terbukti mengakibatkan kerugian dan harus diberikan sanksi , siapa yang akan bertanggungjawab ?  Apakah pribadi korporasi itu sendiri atau para pengurusnya ?

Kejahatan Korporasi
Black’s Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi atau corporate crime adalah any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), often referred to as “white collar crime.       
Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”.
Sally. A. Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah “conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law“.
Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagai “subyek hukum perorangan “legal persons“) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan.  Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
Kejahatan korporasi mungkin tidak terlalu sering kita sering dalam pemberitaan-pemberitaan kriminil di media. Aparat penegak hukum, seperti kepolisian juga pada umumnya lebih sering menindak aksi-aksi kejahatan konvensional yang secara nyata dan faktual terdapat dalam aktivitas sehari-hari masyarakat.  Ada beberapa beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini.   Pertama, kejahatan-kejahatan yang dilaporkan oleh masyarakat hanyalah kejahatan-kejahatan konvensional.  Penelitian juga menunjukkan bahwa aktivitas aparat kepolisian sebagian besar didasarkan atas laporan anggota masyarakat, sehingga kejahatan yang ditangani oleh kepolisian juga turut bersifat konvensional. Kedua, pandangan masyarakat cenderung melihat kejahatan korporasi atau kejahatan kerah putih bukan sebagai hal-hal yang sangat berbahaya,dan juga turut dipengaruhi. Ketiga,  pandangan serta landasan hukum menyangkut siapa yang diakui sebagai subjek hukum pidana dalam hukum pidana Indonesia.  Keempat, tujuan dari pemidanaan kejahatan korporasi adalah lebih kepada agar adanya perbaikan dan ganti rugi, berbeda dengan pemidanaan kejahatan lain yang konvensional yang bertujuan untuk menangkap dan menghukum. Kelima, pengetahuan aparat penegak hukum menyangkut kejahatan korporasi masih dinilai sangat minim, sehingga terkadang terkesan enggan untuk menindaklanjutinya secara hukum.  Kelima, kejahatan korporasi sering melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dengan status sosial yang tinggi.  Hal ini dinilai dapat mempengaruhi proses penegakan hukum.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia memang hanya menetapkan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana adalah orang persorangan (legal persoon). Pembuat undang-undang dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai  satu  kesatuan  dan karena  itu diakui  serta  mendapat  perlakuan  sebagai badan hukum atau korporasi. Berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu.   Sehingga,  jika  KUHP Indonesia saat ini tidak bisa dijadikan sebagai  landasan untuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun hanya dimungkinkan pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi.   Hal ini bisa kita lihat dalam pasal 398 KUHP yang menyatakan bahwa jika seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun 4 bulan: 1. jika yang bersangkutan turut membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan  yang bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar dari kerugian diderita oleh perseroan, maskapai, atau perkumpulan…(dan seterusnya).
Di Belanda sendiri, sebagai tempat asal KUHP Indonesia, pada tanggal 23 Juni 1976, korporasi diresmikan sebagai subjek hukum pidana dan ketentuan ini dimasukkan kedalam pasal 51 KUHP Belanda (Sr.), yang isinya menyatakan antara lain:
1. Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perorangan maupun korporasi;
2. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan yang disediakan dalam perundang-undangan—sepanjang berkenaan dengan korporasi—dapat dijatuhkan.  Dalam hal ini, pengenaan sanksi dapat dilakukan terhadap
2.1. korporasi sendiri, atau
2.2. mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual memimpin pelaksanaan tindak pidana dimaksud, atau
2.3. korporasi atau mereka yang dimaksud di atas bersama-sama secara tanggung renteng.
1. Berkenaan dengan penerapan butir-butir sebelumnya, yang disamakan dengan korporasi: persekutuan bukan badan hukum, maatschap (persekutuan perdatan), rederij (persekutuan perkapalan) dan doelvermogen (harta kekayaan yang dipisahkan demi pencapaian tujuan tertentu; social fund atau yayasan).
Meskipun KUHP Indonesia saat ini tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun korporasi mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Kemudian kejahatan korporasi juga diatur dan tersebar dalam berbagai undang-undang khusus lainnya dengan rumusan yang berbeda-beda mengenai “korporasi”, antara lain termasuk pengertian badan usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, perserikatan, organisasi, dan lain-lain, seperti :
- UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi
- UU No.38/2004 tentang Jalan
- UU No.31/1999  jo. UU No.21 tahunn 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana   Korupsi dan lain-lain
Dalam literatur Indonesia juga ditemukan pandangan yang turut untuk mewacanakan menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana. Seperti misalnya Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH, dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia”, menyatakan :
Dengan adanya perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan hukum turut serta dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbul gejala-gejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk perumusan pelbagai tindak pidana.  Dalam hal ini, sebagai perwakilan, yang kena hukuman pidana adalah oknum lagi, yaitu orang-orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum, seperti misalnya seorang direktur dari suatu perseroan terbatas, yang dipertanggungjawabkan.  Sedangkan mungkin sekali seorang direktur itu hanya melakukan saja putusan dari dewan direksi.  Maka timbul dan kemudian merata gagasan, bahwa juga suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri  dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subyek suatu tindak pidana.
Di Indonesia, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan  Hidup.  Hal ini dapat dilihat dari isi pasal 46  yang mengadopsi doktrin vicarious liability.
Meskipun tidak digariskan secara jelas seperti dalam KUHP Belanda, berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat 3 bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat 1 dan 2 UU No.38/2004 tentang Jalan. Kemudian dapat pula dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pindana, seperti yang diatur dalam pasal 20 ayat 2 UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU No.31/2004 tentang Perikanan.  Kemudian kemungkinan berikutnya adala dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada koorporasi, contohnya seperti dalam pasal 20 ayat 1 UU No.31/1999.

sumber:
http://123mamung.blogspot.co.id/2013/11/contoh-pelanggaran-korporasi.html
http://travoltagama.blogspot.co.id/2015/02/kasus-kejahatan-korporasi-kasus-pt.html
http://www.kompasiana.com/tmr1/kejahatan-korporasi-dalam-penerapan-sanksi-hukum_54f7867fa333112c6f8b473d
http://winamayang.blogspot.co.id/2013/11/kejahatan-korporasi-di-bidang-ekonomi.html

http://www.slideshare.net/ahmadfajarjabrik/isi-makalah-etika-bisnis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar